#SulawesiTanpaPolusi# ; Peluncuran Policy Brief “Transformasi Kebijakan Energi Terbaruka Revisi Perpres 112/2022 (Pasal 3 Ayat 4B Untuk Keselamatan Rakyat & Lingkungan Indonesia) Untuk Masa Depan Yang Berkelanjutan”

Politik71 Views

Indonesia melalui langkah-langkah ambisius penerbitan Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik (Perpres 12/2022) masih kurang dari apa yang dibutuhkan dalam jalur penurunan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius. Pasal 3 Ayat 4 huruf b dalam Perpres ini masih memberikan celah dan kelonggaran yang sangat krusial dengan membolehkan adanya pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap untuk penggunaan sendiri (PLTU Captive) baru. Padahal proporsi PLTU Captive dari seluruh kapasitas PLTU batubara yang beroperasi di Indonesia sudah mencapai hampir 30% Kontribusi emisi PLTU captive sangatlah signifikan namun upaya pemerintah untuk menyuntik mati PLTU batubara saat ini dari segi regulasi belum menyentuh PLTU captive dan hanya berbasis kepada sektor ketenagalistrikan semata (on-gria).

Sebanyak 77% PLTU captive yang beroperasi di Indonesia menyuplai kebutuhan energi industri logam nikel dengan total kapasitas pembangkit sebesar 15,25 GW. Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku, yang memiliki cadangan nikel terbesar di Indonesia, juga memiliki jumlah unit smelter nikel terbanyak untuk pengolahannya. Akibat dari tingginya cadangan nikel dan banyaknya unit smelter, kebutuhan energi untuk sektor industri nikel di Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku semakin meningkat. Total PLTU captive di wilayah tersebut kini mencapai 88 unit dengan total kapasitas 17,6 GW, tahap operasional sebanyak 69 unit total kapasitas 11,8 GW, konstruksi 18 unit total kapasitas 5,4 GW dan pra-izin 1unit sebesar 0,4 Gw?

Berdasarkan data jumlah unit yang sudah beroperasi dan yang sedang tahap konstruksi, serta perkiraan keluaran emisi CO2 tahunan untuk setiap unitnya, emisi CO2 dari PLTU captive di Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku diperkirakan akan menghasilkan emisi sebesar 80 Mt CO2 per tahun dan akan terakumulasi sebesar 2 Gt CO2 antara tahun 2025 hingga 2050 jika tidak ada intervensi yang serius dari pemerintah. Perkiraan ini adalah angka minimum dan kemungkinan akan meningkat seiring dengan adanya pembangunan PLTU captive baru dimasa mendatang.

Mengurai Masalah Utama Perpres 112/2022

Indonesia telah menyepakati untuk ikut terlibat dalam mitigasi perubahan iklim, salah satunya melalui pengadopsian United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) oleh indonesia dalam bentuk Undang-Undang Nomor 6 tahun 1994 tentang pengesahan perjanjian UNFCCC. Pasal 3 ayat 3 UNFCCC mewajibkan Para Pihak mengambil tindakan pencegahan untuk mengantisipasi, mencegah atau meminimalkan penyebab perubahan iklim dan mitigasi dampak buruknya. Salah satu perkembangan kunci dari kesepakatan UNFCCC adalah pengadopsian Perjanjian Paris pada United Nations Climate Change Conference (COP 21) di Paris, Perancis pada akhir tahun 2015. Indonesia merupakan salah satu pihak yang menandatangani perjanjian ini yang kemudian diratifikasi ke dalam kebijakan nasional melalui Undang-Undang Nomor 16 tahun 2016 tentang pengesahan Paris Agreement. Pasal 2 Perjanjian Paris ini menyatakan bahwa dalam rangka meningkatkan implementasi konvensi, termasuk tujuannya, bermaksud untuk memperkuat penanganan global terhadap ancaman perubahan iklim, dalam konteks pembangunan berkelanjutan dan upaya pengentasan kemiskinan, termasuk melalui :

1. Menahan laju kenaikan suhu rata-rata global di bawah 2”C di atas suhu di masa pra-industrialisasi dan melanjutkan upaya untuk membatasi kenaikan suhu hingga 1,5”C di atas suhu di masa pra-industrialisasi, mengakui bahwa upaya ini akan secara signifikan mengurangi risiko dan dampak perubahan iklim.
2. Meningkatkan kemampuan adaptasi terhadap dampak perubahan iklim dan mendorong ketahanan iklim dan melakukan pembangunan yang rendah emisi gas rumah kaca, tanpamengancam produksi pangan.

Komitmen tersebut juga diperkuat melalui peningkatan kontribusi yang ditentukan secara nasional melalui dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia yang diserahkan kepada United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), dimana Indonesia berkomitmen untuk menurunkan emisi GRK hingga 29% di bawah business as usual (BAU) dengan usaha sendiri dan 41% dengan dukungan Internasional.

Bahkan jika upaya peningkatan bauran energi terbarukan tetap dapat berjalan sesuai target, hal ini akan menjadi semu sebab PLTU captive baru masih tetap akan terbangun dan akan terus menerus memberi polusi dan emisi, sehingga persyaratan yang dimaksud dalam Pasal 3 Ayat 4 huruf (b) pada poin 2 terkait komitmen yang menjadi prasyarat bahwa PLTU (captive).

Komitmen yang diwajibkan untuk membangun PLTU (captive) baru pada pasal tersebut tidak menyertakan rencana konkret yang memunculkan keyakinan bahwa transisi ke energi bersih dapat terjadi dalam waktu singkat. Apabila perusahaan di smelter yang hanya menyerahkan dokumen transisi tanpa ada pengawasan terkait emisi gas rumah kaca mempersulit praktik di lapangan. Pasal tersebut juga menunjukkan adanya pemberian beban tanggung jawab negara kepada pelaku usaha PLTU captive. Padahal jika diperhatikan secara seksama, yang disyaratkan “pengembangan teknologi’ dan “carbon offset’ merupakan suatu solusi palsu atas masalah perubahan iklim.

Pengembangan teknologi melalui carbon capture storage (CCS) dan carbon capture utilization and storage (CCUS) adalah upaya sia-sia dan akan tetap tidak kompetitif terhadap energi terbarukan. Analisis dari Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) telah menunjukkan performa buruk tersebut sudah merugikan investor lebih dari US$23 juta selama tiga tahun masa operasi proyek. Selain itu, selama masa operasinya, proyek Petra Nova juga menghasilkan lebih dari 1,1 juta metrik ton CO2 melalui penggunaan turbin gas untuk keperluan daya CCS.” Mempertimbangkan biaya yang tinggi untuk penyimpanan, pengangkutan dan daya listrik untuk pengoperasiar CCS sehingga dapat meninggalkanjejak karbon lain, maka indonesia lebih baik fokus says pada pengembangan teknologi untuk energi terbarukan, bukan memperpanjang umur penggunaan batubara.

Carbon offset merupakan salah satu upaya greenwashing. Greenwashing digambarker dapat terjadi ketika perusahaan PLTU gagal memprioritaskan pengurangan emisi internal, menghitung dua kali kredit karbon, atau berinvestasi pada kredit yang tidak terverifikasi.” Tindakan ini sangat tidak pantas diakui secara hukum khususnya pada Perpres 112/2022 karena dapat menipu masyarakat dengan berpikir bahwa perusahaan tersebut berkomitmen untuk mengurangi emisi karbon. Pasar karbon yang saat ini beroperasi di Indonesia pun hanya mampu mengumpulkan dua penjual kredit karbon, yang berarti mekanisme carbonoffset sebenarnya gagalsejak lahir.”

Masalah lain dalam Perpres 112/2022 adalah kehadirannya yang menjadi sebagai satu-satunya payung hukum untuk menopang program Just Energy Transition Partnership (JETP), yang mengatur upaya transisi energi di Indonesia melalui penyusunan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL) yang mendorong pembangunan pembangkit listrik energi terbarukan dengan struktur harga pembelian PLN dan penyusunan peta jalan pengakhiran masa operasional PLTU. Dengan demikian, pengaturan pengecualian PLTU captive pada Pasal 3 Ayat 4 huruf b Perpres 112/2022 membuat landasan hukum skema JETP menjadi pondasi yang rapuh dan mempersulit implementasi pemensiunan dini batubara.

Presiden Perlu Segera Revisi Perpres 112/2022 untuk Mencapai Target 1,5ºC

Sasaran suhu jangka panjang Perjanjian Paris berada di bagian operasional perjanjian, yang menciptakan konsekuensi yang mengikat secara hukum. Sasaran ini merupakan satu sasaran yang merujuk pada dua tingkat suhu yang hanya dapat dipahami secara bersamaan: “menahan peningkatan suhu rata-rata global jauh di bawah 2ºC di atas tingkat pra-industri dan mengupayakan upaya untuk membatasi peningkatan suhu hingga 1,5ºC

Laporan terbaru IPCC menunjukkan bahwa dengan meningkatnya pemanasan, dunia akan menjadi semakin berbahaya. Di luar pemanasan 1,5ºC, kita akan melihat risiko-risiko baru yang akan muncul terkait dengan kenaikan permukaan laut, degradasi lapisan es, hilangnya keanekaragaman hayati, kelangkaan air, cuaca yang lebih ekstrim, dan kerawanan pangan. Menghadapi hal tersebut, Indonesia memiliki hak dan kewajiban sebagai negara anggota dari UNFCCC 1992 dan Perjanjian Paris 2015 melalui ratifikasi dalam UU 16/2016, berupa “kewajiban untuk mengambil upaya-upaya pencegahan untuk mengantisipasi, mencegah atau meminimalisir penyebab penyebab perubahan iklim dan mitigasi dampak buruk yang dihasilkan.”

Berdasarkan gambaran kondisi tersebut dapat ditinjau berbagai prakarsa perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup sampai saat ini membawa kita pada kondisi yang semakin kronis, mengingat terakhir dari laporan “Statistical Review of World Energy 2023” milik Energy Institute, pada 2022 Indonesia, masuk ke daftar 10 negara penghasil emisi karbon terbesar dunia dengan perkiraan total emisi CO2 dari proses flaring (pembakaran), proses industri dan gas metana, dan energi meningkat sebesar 27,73% dan mencapai angka 839,6 juta ton CO2. Jika merujuk di tahun sebelumnya angka tersebut meningkat 18,3% sekaligus menjadi peringkat tertinggi pada peningkatan lepasan dibandingkan negara-negara lainnya.”

Imbas dari adanya pengecualian larangan PLTU baru dalam Perpres 112/2022 telah melahirkan hambatan baru untuk menentukan peta jalan pengurangan emisi sektor energi. Saat ini porsi 30% emisi sektor energi di Indonesia berasal dari pembangkit listrik batubara Captive yang mayoritas berada di kawasan industri nikel dan berpotensi akan terus meningkat tanpa ada hambatan. Data Global Energy Monitor Juli 2024 menunjukkan bahwa unit PLTU captive di Indonesia selama satu dekade meningkat lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, bahkan setelah terbitnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement dan Enhanced NDC yang secara substansi memberikan komitmen nasional untuk melawan laju krisis iklim. Di lain sisi, penggunaan sumber daya energi terbarukan belum berkembang secara substansial, dan belum mencapai skala yang dipersyaratkan untuk melaksanakan komitmen NDC (Nationally Determined Contribution) di sektor energi. Sumber energi batu bara masih akan meningkat sejalan dengan meningkatnya kawasan industri yang kini penggunaan PLTU captive didominasi oleh industri nikel sebesar 76% yang tersebar di wilayah Sulawesi dan Kepulauan Maluku.

Meskipun pemerintah saat ini telah berencana untuk menjalankan program pensiunan dini untuk PLTU on-grid, namun Indonesia telah menetapkan target untuk mencapai puncak emisi pada tahun 2030 melalui percepatan pengembangan energi terbarukan. PLTU captive diperkirakan akan terus bertambah sebab masih diizinkan dalam Pasal 3 Ayat 4b Perpres 12/2022 untuk dibangun di Indonesia tanpa ada peta jalan untuk dekarbonisasi. Studi terbaru dari Institute for Essential Services Reform (IESR) dan Center for Global Sustainability (CGS) Universitas Maryland, jalur transisi yang selaras dengan target 1,5ºC harus mencakup PLTU batubara on-grid dan PLTU batubara captive, emisi listrik Indonesia akan mencapai puncaknya pada 382 MTCO2 pada tahun 2025, diikuti oleh penurunan sebesar 13% pada tahun 2030, 50% pada tahun 2040, dan mendekati nol pada tahun 2050. Untuk menghindari 1,5ºC setidaknya pemerintah Indonesia harus membatalkan proyek PLTU Captive sebesar 26 GW yang saat ini tahap pra-konstruksi atau sedang tahap perizinan.” Selain itu, Pemerintah juga harus memberikan pelarangan yang ketat untuk mencegah adanya penambahan izin PLTU captive baru sembari melakukan pembatalan terhadap 5,24 GW unit yang sedang dalam tahap perizinan dan pengumuman agar emisi GRK dari PLTU captive tidak menambah beban emisi di sektor ketenagalistrikan.

Kawasan Industri dengan PLTU Captive Merugikan Kesehatan dan Lingkungan

Pesatnya perkembangan PLTU captive di Indonesia beriring dengan terbentuknya titik-titik panas baru emisi polutan udara. Pembangkit listrik berbasis batubara adalah salah satu kontributor utama polusi udara, dari emisi partikel halus, sulfur dioksida, nitrogen oksida, bahkan merkuri dan logam berat yang dilepaskan dari cerobong. Paparan terhadap kualitas udara yang buruk berkaitan erat dengan meningkatnya risiko penyakit pernapasan dan kardiovaskular, secara signifikan menurunkan kualitas hidup dan produktivitas ekonomi Orang yang terkena dampak sekaligus meningkatnya biaya perawatan kesehatan.

Di luar Jawa dan Sumatra, Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku mendominasi emisi dari keberadaan PLTU captive. Tidak adanya intervensi yang ketat pada PLTU captive akan menyebabkan ketidaksetaraan signifikan terhadap akses udara bersih di wilayah ini.”

Mengapa PLTU Captive Melanggar HAM?

Berbagai kasus penolakan keberadaan PLTU Captive oleh warga terutama yang berada di wilayah kawasan industri dilatarbelakangi atas dampak nyata akibat aktivitas PLTU yang mengakibatkan pencemaran, kerusakan lingkungan, dan kesehatan yang serius yang menghilangkan hak atas lingkungan hidup yang baik, sehat dan berkelanjutan warga negara. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dan berkelanjutan merupakan bagian dari Hak Asasi Manusia yang masuk dalam rumpun Hak untuk Hidup hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 28 Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyebutkan bahwa setiap warga Negara memiliki hak untuk dapat hidup sejahtera, lahir dan batin, bertempat tinggal, serta mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Lebih lanjut hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat diatur dalam Daiam Pasal 9 ayat (3) Undang-Undang Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang menyebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.”

Pengaturan tersebut telah memberikan jaminan kepada setiap orang atau individu untuk mendapatkan lingkungan yang bersih dan sehat. Secara eksplisit UUD NRI Tahun 1945 Pasal 28 ayat 4 menegaskan perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan HAM adalah tanggung jawab negara. Hal yang sama juga ditegaskan dalam Pasal 71 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Hal ini berarti negara dalam membuat kebijakan dan peraturan perundang-undangan, wajib memastikan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat dapat tetap dijamin dan dilindungi.

Jika dilihat, Perpres 112/2022 memiliki tujuan yang baik, karena mengatur mengenai transisi energi melalui percepatan pengembangan pembangkit listrik dari sumber energi terbarukan dan agenda pensiun dini PLTU hingga 2050. Namun kebijakan ini, justru menunjukkan masalah substantif dan inkonsistensi untuk mencapai tujuannya. Pengecualian bagi PLTU yang terintegrasi dengan Industri (Captive) yang diatur dalam Pasal 3 ayat 4 (b) telah membuka ruang bertambahnya jumlah PLTU yang sumber energinya berasal dari batu bara telah berdampak pada hilangnya hak asasi manusia karena pencemaran, kerusakan lingkungan, dan kesehatan masyarakat khususnya yang tinggal dan berada di wilayah dekat dengan PLTU juga bencana alam akibat krisis iklim.

Pasca disahkannya Perpres 112/2022, sektor industri bertanggung jawab atas 43% dari total konsumsi energi Indonesia dan mengonsumsi 87 juta ton batubara (KESDM, 2023). Saat ini, terdapat 12 unit PLTU Batubara captive yang beroperasi dengan total kapasitas 14.245,6 MW. Sekitar 76% (8.214 MW) dari kapasitas operasional tersebut didedikasikan untuk industri logam. Sebagian besar atau 764 (10.879 MW) digunakan untuk menggerakkan smelter nikel, dengan 3% sisanya digunakan untuk smelter aluminum, dan 4% untuk besi dan baja, tembaga, serta pengolahan logam dan pertambangan lainnya. Sisanya, sekitar 16% (2.248) MW), didedikasikan untuk kebutuhan listrik sektor non-logam, yang terdiri dari pulp dan kertas, semen, tekstil, pabrik kimia, dan sektor industri lainnya.”

Aliansi Sulawesi dalam laporannya ‘Booming PLTU Captive’ telah menemukan bahwa setidaknya proyek industri nikel dan PLTU captive untuk menunjang sumber energinya telah mencemari dan menghilangkan sumber-sumber kehidupan masyarakat lokal. Penguasaan ruang atas polusi membunuh masyarakat secara perlahan, beberapa di antaranya telah mengalami masalah kesehatan serius karena polusi udara, dan ada juga yang mengalami gagal panen pada tambak atau kesulitan mencari ikan di wilayah perairan tercemar.

Analisis yang dilakukan CELIOS dan CREA menunjukkan kehadiran PLTU captive di Kawasan Industri nikel di Sulawesi dan Maluku dapat meningkatkan risiko merkuri dan partikel beracun mencemari lingkungan lokal. Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa tingkat deposisi merkuri dapat mencapai 2,5 kali lipat dari ambang batas aman yaitu 125 mg/ha/tahun, dengan potensi kontaminasi yang tinggi terhadap kawasan perairan. Endapan partikel beracun dapat mencapai 80 kg/ha/tahun di daerah sekitar pusat pengolahan, yang menyiratkan tingginya risiko dampak negatif ekologi dan biologis. Jika tidak ada penanganan standar kualitas udara yang ketat di seluruh pusat pengolahan di Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, dan Maluku Utara maka akan terjadi kematian sebanyak 55.600 orang dan kerugian ekonomi sebesar USD 38,2 miliar (Rp 592 triliun) pada tahun 2060. Ini sejalan dengan catatan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang mengungkapkan bahwa 24% dari semua kematian global atau sekitar 13,7 juta kematian per tahun, terkait dengan lingkungan, karenarisiko seperti polusi udara dan paparan bahan kimia.

Kenaikan temperatur bumi telah mencapai 1,1ºC dan menuju kenaikan temperatur global rata-rata 2,8ºC di tahun 2100, menimbang komitmen negara-negara di dalam Nationally Determined Contributions (NDC). Angka tersebut dua kali lipat dari target 1,5ºC yang tertuang dalam Paris Agreement terkait batas aman bumi untuk pemanasan global. Kenaikan temperatur bumi ini membawa kita pada kondisi yang semakin mengkhawatirkan. Indonesia sendiri termasuk salah satu negara yang paling rentang terhadap krisis iklim. Tercatat terakhir selama tahun 2023, indonesia mengalami 5.400 bencana. Diantaranya seperti banjir, panas ekstrim, kekeringan, menipisnya sumber air bersih, perubahan produksi rantai makanan, dan banyak bencana alam lainnya. Dengan kumulatif kerugian negara yang diperkirakan sekitar Rp22,8 triliun per tahunnya.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Peraturan Presiden nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang ditetapkan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 13 September 2022 menjadi salah satu warisan yang bertujuan untuk mempercepat pensiunan dini pembangkit listrik batubara. Perpres 112/2022 mengatur mengenai penyusunan rencana usaha penyediaan tenaga listrik (RUPTL), penyusunan peta jalan (roadmap) percepatan pengakhiran masa operasional Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), pelaksanaan pembelian tenaga listrik, serta dukungan pemerintah dalam upaya

percepatan pengembangan energi terbarukan.

Namun, perkembangan terkini tidak menjamin semuanya PLTU akan dibatalkan. Hadirnya poin pengecualian pada Pasal 3 ayat 4 huruf b dari Perpres 112/2022 memberikan skenario terburuk dari upaya transisi menuju NZE dan target menahan laju kenaikan 1,5%C. Ini melahirkan potensi pertumbuhan operasi unit PLTU captive baru sampai dengan tahun 2050 dan tidak menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang signifikan dibandingkan dengan dampak buruk yang akan timbul. Di lain sisi, angka kemiskinan tetap meningkat di tengah ekspansi penggunaan PLTU Industri serta potensi kematian dini yang meningkat akibat polusi yang dihasilkan membuat derita berkepanjangan kepada masyarakat.

Kini, jumlah PLTU captive di Indonesia meningkat signifikan utamanya di Pulau Sulawesi dan Kepulauan Maluku, sebanyak 88 unit (17,6 GW) yang tahap operasi, konstruksi dan Praizin dengan rincian tahap operasi sebanyak 69 unit (11,8 GW), konstruksi 18 unit (5,4 GW) dan pra-izin 1 unit (0,4 GW). Keseluruhan proyek tersebut diperkiraan mecapai emisi CO2 tahunan sebesar 80 Mt CO2 dan akan terakumulasi sebesar 2 Gt CO2 antara tahun 2025 hingga 2050. Perkiraan ini adalah angka minimum dan kemungkinan akan meningkat jika tidak ada tindakan yang serius dari pemerintah. Maka dari itu, Sulawesi Tanpa Polusi dalam paper ini merekomendasikan kepada Presiden Republik Indonesia untuk :

1. Menghapus ketentuan Pasal 3 Ayat (4) huruf b Perpres 12/2022 yang mengecualikan PLTU captive dari larangan pengembangan PLTU baru yang saat ini masih menjadi kontradiksi dalam peraturan percepatan energi terbarukan agar target nol emisi Indonesia dapat tercapai lantaran PLTU captive akan tetap menghasilkan emisi dalam jumlah besar:

2. Mengeluarkan rencana PLTU captive maupun CCS/CCUS dari RPJPN 2025-2045 maupun RPJMN 2025-2029,

3. Tidak lagi menerbitkan izin PLTU captive baru, serta meninjau dengan seksama PLTU captive yang sedang dibangun, sehingga Indonesia dapat mempercepat tercapainya emisi puncak sebagai bukti keseriusan terhadap komitmen transisi energi:

4. Menetapkan peta jalan pensiun dini PLTU captive yang selaras dengan komitmen iklim target 1,5ºC dalam rancangan rencana investasi dan kebijakan komprehensif (Comprehensive Investment and Policy Plan/CIPP) kesepakatan kemitraan Just Energy Transition Partnership (JETP),

5. Mengutamakan keterlibatan PLN sebagai badan usaha milik negara selaku badan usaha milik negara yang mempunyai amanat untuk mengelola ketenagalistrikan dan sumber daya negara, untuk memastikan penerapan rencana penyediaan listrik captive yang adil, inklusif, dan transparan, serta dengan ambisius menerapkan upaya dekarbonisasi.

6. Membatalkan seluruh isi Perpres 14/2024 terkait CCS/CCUS khususnya penangkapan karbon untuk pembangkit listrik dan industri.

7. Menuntut Pemerintah untuk mewajibkan para Pelaku usaha industri dan PLTU Captive untuk tunduk pada peta jalan energi nasional melalui pengendalian izin Operasi PLTU untuk kepentingan sendiri (captive coal power plant), serta menerapkan kerangka regulasi yang ketat untuk pemantauan, pelaporan, dan verifikasi emisi PLTU captive, dan sanksi hukum yang mengikat untuk pelanggaran dan ketidaksesuaian.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *