Protes pertambangan maupun kawasan industri nikel berujung jerat hukum terhadap aktivis perempuan, Cristina Rumalatu. Aktivis lingkungan ini dibungkam dengan adanya ancaman dan kriminalisasi melalui pelaporan oleh seorang Jenderal Purnawirawan Suaidi Marasabessy yang diduga berada pada lingkar penguasa PT.
IWIP. Cristina menerima undangan klarifikasi dari Badan Reserse Kriminal Polri, Direktorat Tindak Pidana Siber, 27 Agustus lalu atas tuduhan pencemaran nama baik Pasal 45 ayat (4) Jo. Pasal 27A UU 1/2024 tentang Perubahan Kedua atas UU 11/2008 tentang ITE.
Upaya kriminalisasi muncul setelah Christina bersama dan Thomas Madilis, aksi di depan Kantor Pusat PT Indonesia Weda Bay Industrial Park (IWIP) pada 1 Agustus lalu.
Mereka ikut aksi bersama koalisi organisasi masyarakat sipil antara lain, Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Enter Nusantara, Front Mahasiswa Nasional, dan Serikat Pemuda Nusa Tenggara Timur untuk menyoroti dampak lingkungan dari operasi tambang, terutama banjir di Halmahera.
Aksi ini dipicu banjir bandang di Halmahera Tengah dan Halmahera Timur 21-24 Juli 2024, dengan ketinggian air mencapai tiga meter. Banjir sampai mengisolasi dan melumpuhkan sejumlah desa di sekitar operasi IWIP. Sekitar 1.700 warga terpaksa mengungsi.
Banjir juga terjadi di Halmahera Timur merendam 12 desa hingga menyebabkan longsor di beberapa titik jalan lintas. Di Halmahera Tengah, longsor memutus akses jalan Trans Pulau Halmahera yang menghubungkan Payahe-Oba di Kota Tidore Kepulauan dengan Weda, Halmahera Tengah.
Banjir berulang ini diduga dipicu penggundulan hutan masif. Data Global Forest Watch mencatat, Halmahera Tengah kehilangan 27,9 kilo hektar tutupan pohon antara 2021-2023, setara penurunan 13% sejak 2000. Kehilangan tutupan pohon ini juga berdampak pada degradasi sumber daya air tawar dan meningkatkan risiko bencana hidrometeorologi. Kondisi ini makin memperburuk lingkungan.
Saat aksi di depan Kantor IWIP, Letnan Jenderal (Purn.) Suaidi Marasabessy, yang juga berkantor di gedung sama dengan IWIP, menanggapi aksi para demonstran dengan mengatakan masalah ini telah dikoordinasikan dengan bupati.
Pernyataan ini justru memicu kekesalan massa, yang kemudian meneriaki dengan menyebut pensiunan jenderal tak berguna.
Beberapa hari setelah aksi, tepatnya 4 Agustus 2024, Ali Fanser Marasabessy, Ketua Bravo 5, melalui unggahan di akun TikTok tak terima dengan perkataan terhadap Suaidi Marasabessy itu. Dia menuntut Cristina dan Thomas Madilis, meminta maaf dalam waktu 2×24 jam.