Raja Agung Nusantara Ketum DPP GMPRI beserta Rombongan Pengurus Mendatangi Istana Negara Mendesak Presiden Republik Indonesia untuk Segera Menganugerahkan Gelar Pahlawan Nasional Kepada Almarhum Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesomo

Politik60 Views

Kami dari DPP GMPRI (Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Dan Pemuda Republik Indonesia) Menyambangi dan Mengantarkan Surat Resmi dari DPP GMPRI Kepada Bapak Ir. H.Joko Widodo Presiden Republik Indonesia
Pada Hari Rabu Tanggal 4 September 2024 terkait dengan Permohonan Penganugrahan Gelar Pahlawan Nasional Kepada Almarhum Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesomo .

Berdasarkan Rujukan Undang – Undang dan Profil Calon Pahlawan Nasional yaitu
Almarhum Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesomo. Sudah sangat Pantas di berikan
Gelar Pahlawan Nasional karna ikut dalam perjuangan Kemerdekaan Republik Indonesia sebelum Bangsa Indonesia Merdeka sampai Setelah Bangsa Indonesia Merdeka.

Sumitro juga memiliki ide kritis dan sangat nasionalis, yang
kadangkala berbeda dengan pandangan politisi lain atau pandangan umum. Saat
menghadiri KMB, Sumitro memiliki pandangan yang berbeda dengan Moh. Hatta, pimpinan
delegasi. Sumitro tidak setuju dengan klausul bahwa Indonesia harus membayar hutang
Belanda sebesar 6 juta gulden. Sumitro bahkan mengatakan Belandalah yang harus
membayar Indonesia atas penjajahan dan kezaliman yang dilakukannya terhadap bangsa
Indonesia. Sumitro juga tidak setuju Irian Barat ditunda pengembaliannya ke Indonesia

Kami dari Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Dan Pemuda Republik Indonesia
(DPP GMPRI) Berdasarkan Kajian, Investigasi kami dan Dorongan serta Desakan dari
Masyarakat Indonesia. Dan Berdasarkan Rujukan Undang – Undang dan Profil
Calon Pahlawan Nasional yaitu Almarhum Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesomo. Maka
dari DPP GMPRI Meminta dan Mendesak Bapak Ir. Haji. Joko Widodo Presiden
Republik Indonesia kepada Almarhum Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesomo
Untuk segera menganugrahkan Gelar Pahlawan Nasional Sudah sangat Pantas di
berikan Gelar Pahlawan Nasional karna ikut dalam perjuangan Kemerdekaan
Republik Indonesia.
Tuntutan :
1. Kami dari DPP GMPRI Mendesak Bapak Ir. Haji. Joko Widodo Presiden
Republik Indonesia untuk segera menganugrahkan Gelar Pahlawan Nasional
kepada Almarhum Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesomo berdasarkan
Rujukan dan Perintah Pasal 15 UUD 1945, Pasal 1 angka 1 UU No. 20 Tahun
2009. Dan Berdasarkan Undang – Undang yang yang berlaku di Wilayah
NKRI.
2. Kami dari DPP GMPRI Mendesak Bapak Ir. Haji. Joko Widodo Presiden
Republik Indonesia untuk segera menganugrahkan Gelar Pahlawan Nasional
kepada Almarhum Prof. Dr. Soemitro Djojohadikoesomo berdasarkan Kajian,
Investigasi Kami dar DPP GMPRI bahwa Almarhum Prof. Dr. Soemitro
Djojohadikoesomo terbukti berdasarkan Data, Fakta dan Sejarah Ikut
Terlibat dalam Memperjuangan Kemerdekaan Bangsa Indonesi, dan sudah
terbukti Memajukan Bangsa Indonesia dalam segi Politik, Ekonomi Paska
Indonesia Merdeka di Mata Nasional dan Dunia Internasional.
3. Kami dari DPP GMPRI memberikan waktu 14 X 24 Jam Kepada Bapak Ir.
Haji. Joko Widodo Presiden Republik Indonesia untuk segera

menganugrahkan Gelar Pahlawan Nasional kepada Almarhum Prof. Dr.
Soemitro Djojohadikoesomo Sebagai Pahlawan Nasional.
4. Apabila dalam waktu atau Tempo 14 X24 Jam Bapak Ir. Haji. Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia tidak ada respon baik atau Tidak
Menganugrahkan Gelar Pahlawan Nasional Kepada Almarhum Prof. Dr.
Soemitro Djojohadikoesomo, maka kami dari GMPRI beserta Mahasiswa
Dan Pemuda Seluruh Indonesia dari Tingkat DPP, DPD, DPC PAC, PRT dan
Komisariat di Setiap Kampus dan Perguruan Tinggi Se – Indonesia Akan
Menggelar Aksi Besar Besar di Depan Istana Negara, terhitung mulai dari
surat ini masuk.

1. Rujukan Undang – Undang .
a. Pasal 15 UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden berwenang memberikan gelar dan
tanda jasa kepada pahlawan nasional. Selain itu, aturan definisi, syarat umum, dan
syarat khusus untuk menjadi pahlawan nasional juga tidak bertentangan dengan
UUD 1945.
b. Pasal 1 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2009.
berupa Pahlawan Nasional. Gelar ini diberikan oleh Presiden melalui Keputusan
Pasal 4 ayat (1) UU No. 20 Tahun 2009 dan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Pemerintah
(PP) No.35 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UU No.20 Tahun 2009 tentang Gelar,
Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, ditegaskan kembali bahwa gelar yang diberikan.

Presiden. Hal ini tercantum dalam Pasal 32 UU No.20 Tahun 2009.
Gelar pahlawan nasional mencakup juga semua jenis gelar yang pernah diberikan
sebelumnya, yaitu Pahlawan Perintis Kemerdekaan, Pahlawan Kemerdekaan
Nasional, Pahlawan Proklamator, Pahlawan Kebangkitan Nasional, Pahlawan Revolusi,
dan Pahlawan Ampera. Dalam ketentuan ini, tidak termasuk gelar kehormatan
Veteran Republik Indonesia. Untuk memperoleh gelar sebagai pahlawan nasional,
harus memenuhi syarat umum dan syarat khusus sebagaimana diatur dalam Pasal
25 dan Pasal 26 UU No. 20/2009, yaitu:
1.
Syarat umum (Pasal 25 UU No. 20/2009):
a. WNI atau seseorang yang berjuang di wilayah yang sekarang menjadi
wilayah NKRI;
b. memiliki integritas moral dan keteladanan.
c. berjasa terhadap bangsa dan negar.
d. berkelakuan baik.
e. setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara;
f. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun.
2. Syarat khusus (Pasal 26 UU No. 20/2009) berlaku untuk gelar pahlawan
nasional yang diberikan kepada seseorang yang telah meninggal dunia dan yang
semasa hidupnya:
a. pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan
politik atau perjuangan dalam bidang lain untuk mencapai, merebut,
mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan
dan kesatuan bangs

b. tidak pernah menyerah pada musuh dalam perjuangan.
c. melakukan pengabdian dan perjuangan yang berlangsung hampir sepanjang
hidupnya dan melebihi tugas yang diembannya.
d. pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang
pembangunan bangsa dan Negara.
e. pernah menghasilkan karya besar yang bermanfaat bagi kesejahteraan
masyarakat luas atau meningkatkan harkat dan martabat bangsa; f. memiliki
konsistensi jiwa dan semangat kebangsaan yang tinggi; dan/atau
g. melakukan perjuangan yang mempunyai jangkauan luas dan berdampak
nasional.
Untuk diketahui bahwa pemilihan pahlawan, tidak harus inisiatif dari
negara saja. Pasal 30 ayat (2) UU No. 20/2009 dan Pasal 51 ayat (1) PP No. 35/2010
menyebutkan bahwa usul pemberian gelar, tanda jasa dan tanda kehormatan dapat
diajukan oleh perseorangan, lembaga negara, kementrian, lembaga pemerintah nonkementerian, pemerintah daerah, organisasi, atau kelompok masyarakat.
Usul tersebut ditujukan kepada Presiden melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan
Tanda Kehormatan (Pasal 30 ayat [1] UU No. 20/2009). Dewan Gelar, Tanda Jasa,
dan Tanda Kehormatan adalah dewan yang bertugas memberikan pertimbangan
kepada Presiden dalam pemberian gelar, tanda jasa, dan tanda kehormatan (Pasal 1
angka 9 UU No. 20/2009).
Dalam Pasal 52 PP No.35/2010, diuraikan lebih detail mengenai mekanisme
permohonan usul pemberian gelar, yaitu bahwa pemberian gelar diajukan melalui
bupati/walikota atau gubernur kepada Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang sosial. Selanjutnya, Menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang sosial mengajukan permohonan usul pemberian gelar kepada
Presiden melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

Profil Calon Pahlawan Nasional.
Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo dikenal sebagai begawan ekonom dan politisi
terkemuka Indonesia. Sumitro melahirkan banyak ide dan kebijakan ekonomi Indonesia
melalui sejumlah jabatan politik yang dia duduki, dia berperan besar dalam melahirkan
ekonom Indonesia melalui lembaga pendidikan (FE-UI) yang pernah dia nakhodai, serta
terlibat aktif dalam berbagai Even politik yang menentukan sejarah bangsa. Sumitro
termasuk salah satu dari sedikit tokoh Indonesia yang tampil dalam waktu terlama di
pangung sejarah bangsa.
Sumitro lahir pada 29 Mei 1917 di Kebumen, Jawa Tengah. Sumitro adalah anak tertua
dari Raden Mas Margono Djojohadikusumo, seorang aristokrat Jawa yang menjadi
ambtenar pada masa pemerintahan Hindia Belanda, pendiri Bank Negara Indonesia (BNI)
dan memegang beberapa jabatan penting lain di Indonesia masa awal kemerdekaan. Dua
jabatan penting lain, selain pendiri BNI dijabatnya adalah anggota Badan Penyelidik Usaha
Persiapan Kemerdekaan Indnesia (BPUPKI) dan ketua pertama Dewan Pertimbangan
Agung Sementara (DPAS) (Gunseikanbu 1986: 271; Katoppo 2000: 2-9, 33; Niwandhono
2021: 167).
Sebagai anak seorang ambtenar Sumitro mendapat peluang untuk memasuki sekolah
sekolah menengah Belanda, dan menamatkan pendidikan tingkat menegahnya di Hoogere
Burgereschool (HBS). Tidak itu saja, Sumitro juga mendapat kesempatan melanjutkan
pendidikan tingginya ke Negeri Belanda tahun 1935. Sumitro melanjutkan pendidikannya
ke Nederlandsche Economische Hogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi Belanda), yang
kemudian menjadi Fakultas Ekonomi Universitas Erasmus Universitas Rotterdam, di Negeri
Belanda. Di samping kuliah di Sekolah Tinggi Ekonomi Belanda, Sumitro juga pernah
menimba ilmu di Universitas Sorbornne Paris (1937-1938) dengan mendalami ilmu sejarah

dan filsafat (Katoppo 2000: 10, 13; Wie 2001: 173; Niwandhono 2021: 167).
Selama masa pendidikannya, Sumitro membaca banyak sekali buku tentang ekonomi,
sosialisme dan sejarah buah karya pemikir-pemikir besar dunia. Buku-buku tesebut,
menurut Sumitro juga dibaca oleh sebagian besar pemimpin perjuangan kemerdekaan
Asia, terutama di Asia Tenggara, yang menuntut ilmu di Eropa saat itu. Sumitro juga
bertemu dan berdiskusi dengan banyak ilmuwan serta pemikir terkemuka dunia selama
masa perantauannya untuk menimba ilmu pengetahuan. Sumitro memberikan pandanganpandangan kritisnya terhadap buku-buku bacaan dan pemikiran para ilmuan tersebut, dan
dia mengakui lebih tertarik pada pemikian dan ilmuwan yang memihak pada orang kecil,
perjuangan kemerdekaan dan sosialisme. Karena itu dia memberikan tekanan khusus dan
memiliki apresisi tersendiri kepada Timbergen, seorang sosialis dan sangat bersimpati
kepada perjuangan kemerdekaan Indonesia (Djojohadikusumo 1986: 28-31).
Tidak hanya sibuk belajar dan aktif membaca, Sumitro bahkan juga pernah mencoba
menjadi voluntir pada Brigade Internasional saat terjadinya Perang Spanyol. Sayangnya,
keinginannya itu tidak bisa diwujudkan karena dia diangap terlalu muda, sehingga dia
diminta untuk mendapatkan surat izin dari orang tuanya terlebih dahulu. Walaupun ditolak
dia tetap berada di perbatasan Spanyol dan aktif mengumpulkan dana dan aktivitas
bantuan lainnya, sampai akhirnya dia disuruh meninggalkan kawasan itu
(Djojohadikusumo 1986: 29).
Sumitro tidak hanya tertarik dengan ide dan pemikiran tokoh di luar negeri. Dia
mengagumi pemikiran dan pengorbanan Sukarno dan Hatta. Dia membaca dengan
cermat pledoi pembelaan kedua tokoh tersebut saat mereka diadili oleh pemerintah
kolonial dengan tuduhan makar. Sumitro mengatakan dia terpengaruh oleh kedua sosok
tersebut. Sumitro juga mengatakan bahwa dia sangat terkesan dengan pengorbanan
rakyat Indonesia yang menderita akibat eksploitasi kolonial, terutama pada saat depresi
ekonomi pada tahun-tahun pertama 1930-an (Djojohadikusumo 1986: 28; 30;
Djojohadikusumo 1989: xvi; Katoppo 2000: 23-24).

Sumitro menamatkan pendidikannya tahun 1943 dengan disertasi yang berjudul Het
Volkscredietwezen in de Depressie (Kredit Rakyat di Masa Depresi). Dia meraih gelor
Doktor dalam ilmu ekonomi dalam usia 25, dan itu adalah sebuah prestasi hebat, sebab
jarang sekali orang mampu menyelesaikan pendidikan doktoral seusia itu. Setamat kuliah
dia sempat bekerja di lembaga riset almamaternya dan pada Januari 1946 ikut-serta
(mendompleng) dalam delegasi Belanda ke pertemuan Dewan Keamanan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) di London. Dia ikut delegasi Belanda, sebagai ‘penasihat ahli’,
karena itulah satu-satunya cara yang bisa dilakukan agar dia bisa menyaksikan secara
langsung bagaimana persoalan kemerdekaan Indonesia dibicarakan di forum internasional.
Seusai menghadiri pertemuan tersebut, Sumitro kembali ke Indonesia (Katoppo 2000: 25,
38-43, 47).
Segera setelah pulang Sumitro sampai akhir hayatnya, Sumitro nyaris selalu tampil di
panggung sejarah Indonesia dan selalu membuat sejarah. Secara kronologis bisa
dikatakan bahwa Sumitro menjadi bagian yang penting dalam sejarah Indonesia pada
masa revolusi, pada era demokrasi liberal, pada masa gerakan daerah, zaman Orde Baru,
dan hari-hari pertama Era Reformasi. Satu-satunya panggung sejarah Indonesia yang
nyaris tidak dilakoninya adalah parohan pertama dekade 1960-an.
Dalam berbagai periode sejarah bangsa tersebut, berbagai peran sejarah dilakoni Sumitro.
Beberapa peran penting yang dilakoninya adalah diplomat pejuang pada masa revolusi,
menteri kabinet dan akademisi (tokoh pendidikan) pada masa demokrasi liberal, politisi
pejuang pada masa gerakan daerah, menteri kabinet, akademisi, aktivis masyarakat sipil,
dan pebisnis pada masa Orde Baru, serta pengamat sosial, ekonomi dan politik pada harihari pertama Era Reformasi. Tidak hanya aktivitas politik, akademis, ekonomi dan bisnis
yang lazim dilakoni oleh tokoh bangsa, Sumitro juga mengukir sejarah melalui sejumlah
pemikiran dan tindakannya yang unik dan kadang langka, pemikiran dan tindakan yang
besar artinya bagi bangsa dan negara. Pada beberapa kesempatan, Sumitro juga bersikap
kritis dan berseberangan pemikiran dan keputusan sejumlah politisi, pemikir atau

kebijakan pemerintah.
Telah lazim diketahui, bahwa pada masa revolusi Sumitro memainkan peran penting dalam
lapangan pemerintahan dan perjuangan diplomasi. Di samping berperan sebagai pejabat
pemerintah, seperti Asisten Perdana Menteri St. Syahrir, pegawai tinggi Kementerian
Keuangan, pejabat kepala kedutaan besar RI untuk Amerika Serikat (AS), Sumitro terlibat
aktif dalam perjuangan diplomasi Indonesia. Dia menjadi anggota delegasi Indonesia ke
pertemuan Dewan Keamanan PBB di Lake Success 12 Agustus 1947, bertemu dengan,
Wakil Menteri Luar Negeri segera setelah Belanda melancarkan Agresi Militernya yang ke-
2, serta menjadi anggota delegasi Indonesia pada Konferensi Meja Bundar (KMB) di
Den Haag AS (Ichimura 2016: 440-41; Rahardjo 1989: xxvi; Katoppo 2000: 56-68).
Peran sejarah terpenting Sumitro pada masa revolusi adalah keberhasilannya menjadikan
perjuangan kemerdekaan Indonesia menjadi perhatian publik Amerika Serikat. Saat
bertemu dengan Wakil Menlu AS, Sumitro mengajukan memorandum yang mengecam
keras tindakan ‘tercela’ dan menyamakan tindakan itu dengan aksi Mussolini dan Jepang
yang menyerang Perancis dan Amerika secara mendadak. Suatu memorandum yang isinya
menggugah emosi warga Amerika khususnya dan Barat (Sekutu) pada umumnya. Sumitro
juga mengingatkan AS dan Barat bahwa akibat serangan-serangan Belanda dan
ketidakpatuhan Belanda pada perjanjian-perjanjian yang dibuat (Linggarjati dan Renville),
rakyat Indonesia semakin tidak percaya pada upaya diplomasi, sehingga mudah
dipengaruhi oleh PKI. Sumitro menyebut, hal ini telah terbukti dengan terjadinya
pemberontakan PKI Madiun yang dimulai 18 September 1948. Selanjutnya, mengusulkan
agar AS menghentikan bantuan dalam program European Recovery Program (ERP).
Pemikiran dan usulan Sumitro ini disebarluaskan oleh media AS dan menjadi perbincangan
publik AS. Ini adalah untuk kedua kalinya Sumitro menggugah publik AS dengan
pernyataan dan idenya. Sebelumnya, pada tahun 1946, Sumitro juga menarik perhatian
publik AS karena kapal cargo Amerika Serikat yang disewanya (disewa pemerintah
Indonesa atas usulan Sumitro) ditangkap Belanda. Penangkapan kapal itu membuat

perang publik AS umumnya dan United States-National Maritime Union (US-NMU)
khususnya. Membuat warga AS khususnya tertarik dengan perjuangan Indonesia adalah
sebuah keberhasilan besar saat itu, sebab Belanda hampir sejalan mengelabui publik dunia
dengan pernyataan-pernyataannya yang mendiskreditkan bangsa, pemerintah dan rakyat
Indonesia. Diantaranya dengan mengatakan kemerdekaan Indonesia adalah hadiah Jepang
(Katoppo 2000: 77-84, 122-130).
Seperti disebut di atas, Sumitro juga memiliki ide kritis dan sangat nasionalis, yang
kadangkala berbeda dengan pandangan politisi lain atau pandangan umum. Saat
menghadiri KMB, Sumitro memiliki pandangan yang berbeda dengan Moh. Hatta, pimpinan
delegasi. Sumitro tidak setuju dengan klausul bahwa Indonesia harus membayar hutang
Belanda sebesar 6 juta gulden. Sumitro bahkan mengatakan Belandalah yang harus
membayar Indonesia atas penjajahan dan kezaliman yang dilakukannya terhadap bangsa
Indonesia. Sumitro juga tidak setuju Irian Barat ditunda pengembaliannya ke Indonesia
(Katoppo 2000: 94-102).
Sumitro juga pernah mengalami pengalaman pahit pada masa revolusi. Dia, bersama
Perdana Menteri Syahrir dan Menteri Kemakmuran, Darmawan Mangunkusumo disandera
kelompok Persatuan Perjuangan pada aksi yang dinamakan Peristiwa 3 Juli 1946 (Katoppo
2000: 108-116).
Tahun 1950-an adalah kurun waktu yang paling dinamis dalam kehidupan Sumitro.
Bebagai peran sosial dan politik pada berbagai panggung sejarah yang berbeda
dilakoninya saat itu. Di lapangan pemerintahan Sumitro pernah menjadi Menteri
Perdagangan dan Industri pada Kabinet Natsir (7 September 1950-21 Maret 1951),
Menteri Keuangan pada Kabinet Wilopo (3 April 1952-3 Juni 1953), Menteri Keuangan
pada Kabinet Burhanuddin Harahap (namun ditentang oleh Partai Nasional Indonesia atau
PNI sehingga Burhanudin Harahap mengembalikan mandatnya), Menteri Keuangan Kabinet
Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-3 Maret 1956) (Katoppo 2000: 136-174; Ichimura
2016: 441).

Ada sejumlah ide dan gagasan (kebijakan Soemitro) saat menjadi Menteri. Saat menjadi
Menteri Perdagangan dan Industri, Sumitro menggagas pembentukan sistem perdagangan
terpadu bagi seluruh Indonesia melawan monopoli perusahaan-perusahaan Belanda (The
Big Fives) dalam dunia niaga Indonesia, berperan aktif dalam proses nasionalisasi De
Javasche Bank menjadi Bank Indonesia, mendorong pengembangan industri di Indonesia,
menggagas Program Benteng (program memberi peluang yang lebih besar kepada
pengusaha pribumi dalam dunia niaga), mendukung program transmigrasi, mengurangi
belanja pemerintah untuk mengurangi defisit anggaran belanja negara, mendukung
masuknya modal asing (investor Barat), serta melakukan diplomasi ekonomi ke sejumlah
negara Eropa untuk menarik investor agar mereka menanamkan modal di Indonesia. Tidak
hanya terlibat dalam diplomasi ekonomi, Sumitro juga aktif dalam diplomasi politik. Salah
satu diantaranya adalah keikutsertaannya dalam perundingan pengembalian Irian Barat
tahun 1955 di Jenewa. Perundingan itu telah membuahkan kemajuan namun akhirnya
dianulir oleh pemerintah (Katoppo 2000:136-174).
Sumitro wafat tanggal 9 Maet 2001 dengan meninggalkan empat anak yaitu: si
sulung bernama Biantiningsih Miderawati, seorang sarjana pendidikan dari Harvard; kedua
Mariani Ekowati, seorang ahli mikrobiologi; ketiga Prabowo Subianto, pernah menjadi
Komandan Jenderal Kopassus, dan Menteri Pertahanan RI pada era pemerintahan kedua
Presiden Jokowi, dan sibungsu Hashim S. Djojokusumo, seorang pebisnis grup Arsari.
Keempat anak itu adalah hasil perkawinannya dengan Dora Marie Sigar yang dikenalnya
semasa sekolah di Belanda.

Lagi sekali apabila dalam waktu atau Tempo 14 X24 Jam Bapak Ir. Haji. Joko Widodo
Presiden Republik Indonesia tidak ada respon baik atau Tidak
Menganugrahkan Gelar Pahlawan Nasional Kepada Almarhum Prof. Dr.
Soemitro Djojohadikoesomo, maka kami dari GMPRI beserta Mahasiswa
Dan Pemuda Seluruh Indonesia dari Tingkat DPP, DPD, DPC PAC, PRT dan
Komisariat di Setiap Kampus dan Perguruan Tinggi Se – Indonesia Akan
Menggelar Aksi Besar Besar di Depan Istana Negara, terhitung mulai dari
surat ini masuk.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *