Jakarta, 15 November 2023. VISI LAW OFFICE menjadi Kuasa Hukum 7 (tujuh) kepala daerah dalam
pengajuan Judicial Review Pasal 201 ayat (5) Undang-undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia (MK). Pengujian ini dilakukan untuk memberikan kepastian hukum yang
diakibatkan oleh adanya “kekosongan norma” pada Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada. “Diharapkan,
MK memberikan tafsir konstitusional tentang akhir masa jabatan kepala daerah yang dipilih pada
Tahun 2018, namun baru dilantik pada tahun 2019”, ujar Donal Fariz, Kuasa Hukum 7 Kepala Daerah.
Para Pemohon, terdiri dari Gubernur Maluku, Drs. Murad Ismail; Wakil Gubernur Jawa Timur, Dr.
Emil Elestianto Dardak, M.Sc; Walikota Bogor, Dr. Bima Arya Sugiarto; Wakil Walikota Bogor, Drs.
Dedie A. Rachim, MA; Walikota Gorontalo, H. Marten A. Taha, S.E.; Walikota Padang, Hendri Septa,
B.BUS. (Acc), MIB. dan, Walikota Tarakan, Khairul, M.Kes. Saat ini perkara tersebut telah teregister
dengan Nomor 143/PUU-XXI/2023 dengan agenda sidang hari ini (15/11) adalah pemeriksaan
pendahuluan.
Para kepala daerah meminta MK memberikan tafsir konstitusinal Pasal 201 ayat (5) UU Pilkada yang
meyebutkan: “Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil
Walikota hasil Pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023.
Pasal tersebut rentan ditafsirkan secara berbeda-beda sehingga menimbulkan ketidakpastian
hukum dan merugikan para Pemohon sekaligus masyarakat di daerah yang telah memilih para
Pemohon sebelumnya. Karena jika mengacu pada Pasal 201 ayat (4) UU Pilkada, sesungguhnya
pelaksanaan pemungutan suara yang dilakukan pada tahun 2018 bukan saja dilakukan terhadap
kepala daerah yang habis masa jabatan di tahun 2018 tersebut, tetapi juga bagi kepala daerah yang
habis masa jabatan pada tahun 2019.
Para Pemohon di sini adalah kepala daerah yang habis masa jabatan pada tahun 2019, sehingga
sekalipun hasil pemilihan di tahun 2018 telah memenangkan para pemohon, namun baru bisa
dilantik di tahun 2019 dengan bulan yang berbeda-beda. Sehingga, masa jabatan para kepala
daerah terpotong mulai dari 2 bulan sampai dengan 6 bulan.
Sehingga, jika dicermati ada “kekosongan norma” antara Pasal 201 ayat (4) dan ayat (5) UU
Pilkada, yang belum mengatur tentang akhir masa jabatan kepala daerah yang dipilih pada tahun
2018, namun baru dilantik di tahun 2019.
Hal tersebut berdampak masa jabatan para pemohon tidak utuh selama 5 tahun sebagaimana
ketentuan 162 ayat (1) dan (2) UU Pilkada yang secara jelas menyebutkan Kepala Daerah
memegang jabatan selama 5 (lima) tahun terhitung sejak pelantikan. Hal ini terjadi karena para
pemohon yang merupakan pemenang Pilkada Tahun 2018 baru kemudian dilantik pada jadwal yang
berbeda-beda dalam rentang tahun 2019.
Adapun pokok-pokok permohonan sebagai berikut:
1. Para pemohon pada prinsipnya sepakat dengan kebijakan Pilkada serentak yang diatur
dalam UU Pilkada dan dikuatkan oleh Putusan MK. Pemohon memahami bahwa desain
pilkada serentak tersebut ditujukan agar terjadi Pemungutan Suara Serentak Nasional dalam
Pilkada Tahun 2024. Sehingga permohonan ini tidak dalam rangka mengganggu desain
keserentakan yang telah dirancang tersebut;
2. Permohonan pemohon tidak ditujukan dalam rangka memperpanjang atau menambah
masa jabatan sehingga menjadi diatas lima tahun. Para pemohon hanya meminta MK
menegaskan tafsir konstitusional Pasal 201 ayat (5) sesuai dengan amanat Pasal 162 ayat (1)
dan (2) UU Pilkada;
3. Bahwa ketentuan 201 ayat (5) Undang-Undang Pilkada membuat masa jabatan pemohon
menjadi berakhir tahun 2023. Padahal apabila masa jabatan pemohon diberikan secara utuh,
tidak akan menggangu keserentakan Pilkada Tahun 2024. Berikut timeline akhir masa
jabatan pemohon;
4. Bahwa ketidakjelasan norma yang diuji dan termasuk praktek penerapannya tampak
terlihat dalam dalam Surat Keputusan (SK) Pengangkatan Para Pemohon. Secara ekspilisit
dalam SK tersebut menyebutkan bahwa masa jabatan Para Pemohon sejak 2019-2024 atau
selama lima tahun terhitung sejak pelantikan;
Mengingat terbatasnya waktu sejak persidangan pertama ini dimulai sampai dengan akhir tahun
2023, Pemohon berharap pada MK untuk memprioritaskan pemeriksaan perkara mengingat
Pemerintaah sudah memulai proses persiapan pengisian penjabat di sejumlah daerah.
“Kami menyadari terdapat sejumlah perkara yang diputus terkait Pasal 201 UU Pilkada. Namun
demikian, sesuai dengan Pasal 60 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK, karena dasar materi
muatan UUD 1945 yang dijadikan dasar pengujian berbeda, maka bagian UU yang sama dapat
diuji kembali. Sepenuhnya hal tersebut Kami serahkan pada Yang Mulia, Majelis Hakim
Mahkamah Konstitusi RI”, tutup Donal Fariz, Partner VISI LAW OFFICE yang juga tergabung
dalam Tim Kuasa Hukum 7 Kepala Daerah.